Kepemilikan Dalam Islam

Istilah kepemilikan telah ada dan muncul sejak adanya manusia pertama di muka bumi ini. Saat itu, makna kepemilikan tidak lebih dari sekedar penggunaan sesuatu guna memenuhi kebutuhan hidup. Pada masa awal ini manusia belum berfikiran untuk menyimpan apa yang ia miliki. Ini disebabkan penghuni bumi saat itu masih sedikit dan kebutuhan hidup sangat melimpah. Sehingga pada saat itu, kepemilikan terhadap sesuatu hanyalah bermakna penggunaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena kebutuhan hidaup sangat mudah didapat.
Seiring dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit jumlah bani adam mulai bertambah dan memenuhi penjuru bumi. Dimulailah persaingan guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini terjadi setelah bertambahnya populusi. Dan dilain sisi setiap orang ingin memenuhi kebutuhan dengannya. Maka sejak inilah dimulai pergeseran makna kepemilikan yang awalnya hanya penggunaan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup, menjadi kewenangan dan kekuasaan. Maka mulai saat inilah muncul istilah kepemilikan pribadi.
Dalam waktu yang sama manusia muncul dalam bentuk keluarga, jamaah, dan kabilah. Dan seorang manusia tidaklah hidup kecuali secara jamaah bermasyarakat. Karena tidak ada alternatif lain dalam kelangsungan kehidupan seseorang kecuali bergabung dalam komunitas masyarakat. Darinya muncul istilah kepemilikan bersama. Dimana tidak ada hak wewenang pribadi dalam memanfaatkannya melainkan digunakan bersama oleh setiap anggota masyarat. Seperti: jalan raya, jembatan, sungai, gunung dll.
Definisi Kepemilikan Menurut Ulama Syiari’ah
Kepemilikan dalam syariat islam adalah kepemilikan terhadap sesuatu sesuai dengan aturan hukum dimana seseorang memiliki wewenang untuk bertindak dari apa yang ia miliki selama dalam jalur yang benar dan sesuai dengan hukum.
Melihat makna defenisi ini jelaslah bahwa kepemilikan dalam islam berbeda dengan apa yang ada pada paham-paham lainnya. Seperti halnya aliran kapitalis yang memandang makna kepemilikan sebagai kekuasaan seseorang yang tak terbatas terhadap sesuatu tanpa ada pada orang lain. Inilah perbedaan yang mendasar antara konsep kepemilikan pada islam dan yang paham lainnya yaitu harus berada pada jalur koridor yang benar sebagaimana diperintahkan oleh Allah.
Hakikat Hak Milik
• Allah adalah Pencipta dan Pemilik Harta yang Hakiki
Di dalam ayat-ayat Al-Quran, Allah Swt kadang-kadang menisbatkan dalam ayat-ayat Al-Quran kepemilikan harta itu langsung kepada Allah Swt.
“Dan berikanlah kepada mereka, sebagian harta Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.” (QS Al-Nur:33)
Allah Swt langsung menisbatkan (menyandarkan) harta kepada diri-Nya yang berarti harta milik Allah. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata ‘min malillah’, yang bermakna Allah merupakan pemilik mutlak atas seluruh harta yang ada di dunia.
• Harta adalah fasilitas bagi Kehidupan Manusia
Allah adalah pemilik mutlak harta yang kemudian menganugrahkannya kepada umat manusia. Penganugrahan dari Allah ini dalam rangka memberikan fasilitas bagi kelangsungan kehidupan manusia. Allah memberikan segalanya kepada manusia termasuk harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Seperti firman Allah:
“Dialah (Allah) yang telah menciptakan apa saja yang ada di muka bumi buat kalian semuanya”. (QS Al Baqarah: 29)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”. (QS Al Hadid:7)
Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan oleh manusia yang bukan secara mutlak hak milik karena pada hakikatnya pemilik sebenarnya ada pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah, oleh karena itu manusia tidaklah boleh kikir dan boros. Allah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengusahakan, memanfaatkan dan melestarikan harta yang ada di bumi dengan bijak serta memerintahkan manusia untuk senantiasa berupaya mencari harta agar dapat memilikinya.
• Allah Menganugrahkan Kepemilikan Harta kepada Manusia.
Allah memberi manusia sebagian dari harta-Nya setelah manusia tersebut berupaya mencari kekayaan, maka jadilah manusia disebut “mempunyai” harta. Hal ini tampak dalam Al Quran yang menyebutkan harta sebagai milik manusia:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah : 188)
Dalam ayat di atas memberikan pengertian bahwa harta ketika dikaitkan dengan manusia berarti dimiliki oleh manusia sebatas hidup di dunia, dan itu pun bila diperoleh dengan cara yang legal menurut syariah Islam.
Pelapangan rezeki yang diberikan Allah tidak berkaitan dengan keimanan serta kekufuran seseorang, seperti firman Allah:
“Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS Ar Ra’d : 26)
Dalam ayat ini, Allah melapangkan rezeki bagi sebagian hambaNya dan menyempitkan bagi sebagian yang lain, sesuai dengan tuntutan kebijaksanaanNya. Pelapangan dan penyempitan rezeki ini tidak berkaitan dengan keimanan dan kekufuran. Barangkali Allah melapangkan bagi orang kafir dengan maksud memperdayakan dan menyempitkan orang Mu’min dengan maksud menambah pahalanya.
Allah melapangkan rezeki bagi siapa pun yang Dia kehendaki di antara para hambaNya yang pandai mengumpulkan harta dan mempunyai kemudahan dalam mendapatkan harta dimana hal ini tidak berhubungan dengan keimanan dan kekufuran seseorang. Pada hakikatnya, kenikmatan dunia jika dibandingkan dengan kenikmatan akhirat hanyalah sedikit dan akan cepat hilang. Oleh sebab itu, mereka yang berharta di dunia tidak berhak untuk membanggakan dan menyombongkan bagian dari dunia yang diberikan Allah kepada mereka.

Etika Terhadap Harta Dalam Pandangan Islam

Kehidupan seorang muslim selalu dituntun untuk bekerja (etos gerak). Al Quran mendorong muslim untuk bergerak dan berbuat sesuatu yang baik secara aktif. Isalm yang dikonotasikan dengan “jalan”, memberikan gambaran bahwa ajarannya adalah ajaran dinamis, bergerak, dan berubah menuju kesempurnaan sesuai dengan yang divita-citakan. Orang Islam yang berjalan di atas jalan tersebut lazimnya bergerak, dinamis, aktif serta tidak diam (pasif) dalam suatu kondisi. Bagi orang yang mencari perubahan, Allah menjanjikan kemudahan dan keleluasaan sebagai apresiasi atas usaha yang dilakukan oleh manusia. Seperti pada QS An Nisa :100
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sehingga pada dasarnya Al Quran maupun al Sunah telah memberikan berbagai apresiasi untuk mendorong manusia agar berbuat dan berkreasi sesuai dengan profesi dan potensi masing-masing untuk mendapatkan harta secara halal serta mendistribusikan.
Anjuran dan suruhan Al Quran terhadap usaha dan pemenuhan tanggung jawab, bukan sedekar parintah bekerja yang hanya menghasilkan materi. Al Quran menghendaki agar kerja manusia diorientasikan pada nilai-nilai suci, bukan sekedar materi secara unsich. Nilai suci dari materi ditentukan oleh fungsi dan kegunaan untuk kemaslatan dalam memenuhi hajat hidup manusia. Al Quran memberikan orientasi melalui tata cara dalam mencari materi yang harus dipatuhi oleh manusia. Orientasi tersebut untuk memberikan keseimbangan usaha manusia dalam mendapatkan materi agar sesuai dengan harapan yang dicita-citakan sebagai khalifah di bumi.keseimbangan tersebut baik terhadap Tuhan, terhadap dirinya sendiri, terhadap lingkungan, maupun terhadap sesama manusia. Tata cara tersebut di antaranya adalah melarang manusia bertransaksi yang tidak legal baik dalam perspektif yuridis maupun etis, penyempurnaan timbangan atau takaran dalam transaksi, larangan bersistem raba, dan menekankan tanggung jawab.

Pengertian Harta Dalam Islam

Secara Bahasa harta dalam kamus besar Indonesia cetakan balai pustaka disebutkan bahwa harta adalah barang atau uang yang menjadi kekayaan, barang milik seseorang atau kekayaan berwujud dan tak berwujud yang bernilai dan menurut hukum dimiliki perusahaan.
Dalam bahasa arab harta disebut Al-mal yang artinya segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia dari pakaian, perhiasan dan kekayaan. Harta (al-mal) menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi, adalah ma malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Disebutkan juga bahwa Al-mal adalah apa yang dimiliki dari emas dan perak.
Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian.
Para Ahli fiqh mendefinisikan harta adalah segala sesuatu yang bisa dimiliki dan dimanfaatkan oleh manusia dalam bentuk tertentu sebagaimana yang telah berjalan pada masyarakat. Imam Syafie menambahkan bahwa tidaklah termasuk harta kecuali memiliki nilai jual. Jadi dari kedua definisi diatas jelaslah bahwa syarat yang harus ada dalam harta adalah adanya manfaat dan memiliki nilai jual.
Harta dalam islam Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah SWT yang dititipkan kepada manusia. Berbeda halnya dengan paham materialis, kapitalis atau aliran lainnya yang memandang harta sebagai tujuan dari hidup. Sehingga masa hidupnya hanya untuk harta. Yang terdetik dipikiran mereka hanyalah bagaimana mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Walaupun dengan jalan yang tidak benar sekalipun.
Dibawah ini disebutkan teori islam dalam memandang harta: Harta tidak lebih dari sekedar titipan Allah kepada manusia. Yang akan diminta pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Kepemilikan pribadi terhadap sesuatu terikat oleh batasan tertentu. Sehingga seorang manusia tidak dengan mutlak bisa melakukan apa saja yang ia inginkan dari apa yang ia miliki tanpa memperhatikan hak orang lain.
Dari sebagian harta ada yang bersifat umum yang tidak seorangpun mempunyai hak untuk memilikinya. Melainkan dimanfaatkan guna kemaslahatan bersama. Contoh:jalan raya, jembatan, tempat ibadah. Bahwasanya dari harta yang dimiliki ada bagian yang harus dikeluarkan dan diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Inilah yang disebut sebagai zakat dalam islam.

. Metode Meraih Harta Dalam Islam

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Allah adalah pemilik segala yang ada. Tidaklah harta kekayaan yang ada di tangan manusia melainkan hanya titipan Allah.swt. Dialah pemilik kerajaan langit dan bumi. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an :
تؤتى الملك من تشاء و تنزع الملك ممن تشاء
Artinya: “Engkau memberi kerajaan kepada siapa yang engkau kehendaki dan mencabut kerajaan dari siapa yang engkau kehendaki”.
Mencermati makna ayat diatas maka jelaslah bahwa walaupun manusia memiliki harta yang melimpah dan berbagai macam perhiasan dari emas dan perak, tidaklah semuanya melainkan hanya milik Allah SWT yang dianugerahkan kepada hambanya. Banyak ayat lain yang menjelaskan tentang hal ini.

واتو هم من مال الله الذى اتا كم
Artinya: “Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian”.
Di ayat lain allah berfirman:
كلوا من طيبات ما رزقنا كم ولا تطغوا فيه فيحل عليكم غضبى ومن يحلل عليه غضبى فقد هوى
Artinya: “makanlah diantara rizki yang baik yang telah kami berikan kepadamu,dan janganlah melampaui batas padanya,yang menyebabkan kemurkaanku menimpamu,sesungguhnya barang siapa ditimpa oleh kemurkaanku maka binasalah ia”.
Islam telah menggambarkan jalan yang suci dan lurus bagi umatnya guna memperoleh harta yang halal dan baik. Dibawah ini disebutkan beberapa cara meraih harta dalam islam:
• Meraih harta secara langsung dari hasil keringatnya sendiri.
Inilah yang sering di puji oleh islam, yaitu meraih harta dengan jerih payah keringatnya sendiri selama hal itu berada pada koridor yang telah ditentukan oleh Allah dan ini merupakan cara meraih harta yang paling mulia dalam islam. Islam adalah satu-satunya agama samawi yang memuliakan pekerjaan bahkan memposisikan pekerjaan sebagai ibadah disisi-Nya. menjadikannya asas dari kebaikan didunia dan akhirat. Pada surat Al-Mulk ayat:15 Allah memerintahkan kita untuk berjalan di muka bumi guna meraih kehidupan:
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah buat kamu,maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Mu. Dan hanya kepadaNya kamu kembali (setelah) dibangkitkan.”
Dalam surat Al-Muzammil ayat:20 Allah menjelaskan bahwa mencari kehidupan dengan cara bekerja setara kedudukannya dengan berjihad di jalan Allah:
“… dan orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;dan orang yang lain lagi berperang di jalan Allah.”
• Harta warisan
Dalam islam harta warisan adalah salah satu jalan yang diperbolehkan guna meraih harta kekayaan. Ini disebut meraih harta secara tidak langsung. Dalam artian si-penerima harta, tidaklah bersusah payah untuk mendapatkannya. Karena itu adalah peninggalan dari oarng yang meninggal (ayah atau keluarga dekatnya).
Kepemilikan yaitu seseorang memiliki wewenangan untuk bertindak atas apa yang ia miliki. Tetapi ketika hubungan yang mengikat antara si-pemilik harta dengan harta yang ia miliki terputus disebabkan wafatnya si-pemilik, maka harus ada pemilik baru yang menggantikan wewenang kepemilikan harta yang ia miliki. Dan Islam menjadikan orang yang paling dekat hubungannya dengan si-mayit yang menerima wewenang dalam kepemilikan harta si-mayit. Ini sesuai dengan fitrah manusia. Dalam hal ini yang paling dekat adalah anak dan keluarga terdekat.
Begitu pula halnya dalam pembagian harta warisan. Islam membagi sesuai dengan fitrah kebutuhan manusia. Ada tiga ideologi yang dijadikan landasan pembagian harta waris dalam islam:
1.Islam memberikan harta waris kepada orang terdekat yang memiliki hubungan dengan si-mayyit tanpa membedakan orang tersebut kecil dan besar atau lemah dan kuat.maka dari itu orang terdekat dengan mayyit yang mendapatkan bagian terbanyak dalam warisan.
2.Pembagian harta waris sesuai dengan tuntutan kebutuhan. Jika kebutuhan terhadap sesuatu itu besar,maka besar pula bagian yang ia dapatkan. Barangkali inilah rahasia di balik bahwa anak mendapatkan bagian yang paling besar. Bahkan lebih besar dari bagian orang tuanya. Selain karena orang tua memiliki hak kepemilikan dalam harta anaknya,juga kebutuhan anak pada harta lebih besar disebabkan mereka akan menghadapi masa depan.
3.Dalam warisan islam menggunakan istilah pembagian(at-tauzi’)bukan pengumpulan(at-tajmi). Yaitu pembagian warisan. Sehingga harta warisan tidak hanya terfokus kepada satu orang saja,tetapi dibagikan kepada anak,saudara,saudara paman dan seterusnya. Sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah.swt.
• Syuf’ah, hak membeli dengan paksa atas harta persekutuan yang dijual kepada orang lain tanpa izin para anggota persekutuan yang lain.
• Iqtha, pemberian dari pemerintah
• Hak-hak keagamaan seperti bagian zakat, bagi ‘amil, nafkah istri, anak, dan orang tua.
• Perjanjian-perjanjian hak milik seperti jual-beli, hibah (pemberian/.hadiah), dan wasiat.