Sistem Pertahanan Rakyat Semesta

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
            Sejarah perjuangan bangsa Indonesia telah menempuh perjalanan  panjang, dimulai dari masa sebelum dan selama penjajahan, dilanjutkan dengan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan. Masing-masing tahap tersebut melahirkan tantangan jaman yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tuntutan jamannya. Tantangan jaman itu ditanggapi bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa, yang dilandasi dengan jiwa dan tekad kebangsaan. Kesemuanya itu  tumbuh dan berkembang  menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam wadah Nusantara.


            Di era revolusi fisik, semangat perjuangan bangsa yang tidak kenal menyerah, yang hakekatnya merupakan kekuatan mental spiritual bangsa telah melahirkan perilaku heroik dan patriotik, serta menumbuhkan kekuatan, kesanggupan dan kemauan yang luar biasa. Idealnya,  dalam situasi dan kondisi apapun semangat juang itu hendaknya  tetap dimiliki oleh setiap warganegara NKRI. Di samping sudah terbukti keandalannya, nilai-nilai tersebut terbukti masih relevan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan ber¬masyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian sebagai fenomena  sosial, nilai-nilai itupun mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan nasional.
            Menjelang akhir abad 20 situasi politik dunia berubah secara drastis. Tahun 1989 Tembok Berlin, lambang terpisahnya blok Barat dan Timur runtuh, disusul bubarnya Uni Sovyet.  Konstelasi politik duniapun berubah. Perang Dingin berakhir secara mendadak, di luar perhitungan pihak yang bertikai. Akibatnya, di satu sisi dunia dilanda kevakuman, baik dalam konsep, strategi maupun kepemimpinan politik, sementara di sisi lain muncul tuntutan masyarakat dunia akan adanya Tata Dunia Baru yang aman, sejahtera dan lebih berkemanusiaan.
           Pada hakekatnya proses yang mengandung ciri penduniaan itu telah melanda dunia jauh sebelum Perang Dingin usai. Hanya saja, selama ini para pengamat tidak menaruh perhatian karena  dianggap bukan sebagai gejala yang penting. Gejala awal terlihat dari mendunianya penye¬baran jenis-jenis makanan tertentu, tingkah laku orang-orang perkotaan (metropolitan) dan meluasnya penerimaan terhadap mode pakaian dan tata rias. Semua itu mengarus dari masya¬rakat dunia industri maju ke bagian dunia yang lain, didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan sistim komunikasi telemedia (Soerjanto, 1994:26-29).
            Cepatnya komunikasi lewat teknologi elektronika membuat penyebaran informasi berjalan singkat dan  melampaui batas negara. Peristiwa di satu titik di muka bumi dalam waktu sekejap dapat diketahui oleh seluruh penjuru dunia. Orangpun mulai merasa bahwa dunia semakin “sempit”. Kemajuan IPTEK bidang informasi, komunikasi dan trans¬portasi telah membuat dunia menjadi semakin transparan. Tidak ada lagi batas atau sekat antara bagian dunia yang satu dengan bagian yang lain, sehingga seolah-olah terbentuk kampung sedunia tanpa mengenal batas negara.   .
            Permasalahan lain, perkembangan globalisasi juga ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional dan campur tangan negara-negara maju dalam percaturan politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer global. Pada gilirannya hal itu tentu akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan, baik antara sesama negara maju, negara maju dengan negara berkembang, sesama negara berkembang maupun antar lembaga-lembaga internasional. Lebih buruk lagi, isu globalisasi, yakni HAM, demokrasi, liberalisasi dan lingkungan hidup, juga sering digunakan oleh negara-negara maju untuk menyudutkan dan men¬diskreditkan bangsa dan negara lain, khususnya negara-negara berkembang.
            Ancaman lebih besar ialah bahwa globalisasi juga menciptakan struktur baru, yaitu struktur global, yaitu itu mempengaruhi struktur kehidupan, pola pikir, sikap dan tindakan masyarakat. Dengan kata lain globalisasi akan mempengaruhi kondisi mental spiritual bangsa. Walaupun sementara  orang menganggap bahwa  globalisasi adalah konsep “semu” sekedar pengisi kevakuman dunia pasca Perang Dingin (Cold War), akan tetapi kehadirannya menjadi sesuatu yang tak terelakkan. 
            Untuk Indonesia, saat ini negara dan bangsa dihadapkan pada tiga permasalahan pokok, yaitu pertama, tantangan dan pusaran arus globalisasi; kedua,  masalah internal, seperti KKN, “destabilisasi”, separatisme, teror dan sebagainya, dan ketiga, bagaimana menjaga agar “roh” reformasi tetap berjalan pada relnya. Atas dasar itu maka perlu ada langkah-langkah strategis, yaitu : pertama, reformasi sistem yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar dan perangkat legal sistem politik; kedua, reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik, dan  ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik yang lebih demokratis dan tertanamnya komitmen untuk lebih baik.
            Apabila yang pertama dan kedua lebih didominasi oleh eksekutif dan legislatif, yang ketiga harus dilakukan oleh seluruh segmen masyarakat mulai dari rakyat awam hingga elit politik. Pemberdayaan ini mesti dilakukan secara massal, berkesi¬nambungan dan dalam bingkai paradigma yang jelas. Adapun media yang dianggap kondusif untuk mencapai sasaran itu salah satunya ialah melalui pembelajaran civic education (pendidikan kewarga¬negaraan). Di tingkat perguruan tinggi, nilai strategis dari pembe-lajaran ini ialah meningkatnya kesadaran komprehensif mahasiswa terhadap masalah bangsa. Pada gilirannya hal itu akan berujung pada  keterlibatan (partisipasi efektif) dan tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas kehidupan sosial dan politik secara keseluruhan.
1.2       PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
            UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Pasal 39 Ayat(2) menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Selanjutnya dalam Keputusan Mendikbud No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa, ketiganya dimasukkan dalam kelompok Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi.
            Dengan keluarnya Keputusan Dirjen Dikti No. 267/DIKTI/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum, sebutan MKU diganti dengan MKPK (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian) dan substansi mata kuliah Ke¬wira¬an direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan.  Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat Keputusan  Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti  No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
1.2.1    Materi Pokok  
            Seperti diketahui, materi pokok kuliah Kewiraan  ialah Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Politik dan Strategi Nasional (Polstranas), Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional (Polstrahan¬kamnas) dan Sistim Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), yang lebih dititik beratkan pada PPBN. Setelah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan,  materi kajian beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 obyek pembahasan¬ Pendidikan kewarganegaraan ialah  :

  1. Filsafat Pencasila
  2. Identitas Nasional
  3. Negara dan Konstitusi
  4. Demokrasi Indonesia
  5. HAM dan Rule of Law
  6. Hak dan Kewajiban Warga Negara
  7. Geopolitik Indonesia
  8. Geostrategi Indonesia
1.2.2    Landasan Hukum
  1. UUD 1945
Pembukaan Alinea Kedua dan Keempat yang memuat cita-cita dan aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaan
-           Pasal 27 (1) tentang Kesamaan  Kedudukan dalam Hukum
-           Pasal 30 (1) tentang Bela Negara
-           Pasal 31 (1) tentang Hak Mendapat Pengajaran
  1. Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
  2. Undang-Undang No. 20/Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok  Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jo. No. 1 Tahun 1988)         
  3. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional.
  4. Keputusan DIRJEN Pendidikan Tinggi No. 267/DIKTI/KEP/2000 tentang  Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan Kewarga¬negaraan pada Perguruan Tinggi di Indonesia.
  5. Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan  Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
  6. Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
1.2.3    Tujuan
            Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup dua hal, yaitu:
  1. Tujuan Umum
            Untuk memberi bekal pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warganegara dengan negara dan PPBN, agar menjadi warganegara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
  1. Tujuan Khusus
1.      Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warganegara RI terdidik dan bertanggungjawab.
2.      Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung¬jawab berlandaskan Pancasila, konsepsi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
3.      Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air serta rela ber¬korban bagi nusa, bangsa dan negara.
1.2.4        Kompetensi  yang Diharapkan
            Bagi bangsa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan sudah demikian mendesak untuk dilakukan, mengingat dalam masa transisi menuju demokrasi saat ini di masyarakat banyak ditemukan  berbagai patologi sosial yang seringkali kontra produktif dengan upaya penegakan demokrasi itu sendiri. Beberapa patologi sosial itu antara lain:
a.                   Hancurnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat.
b.                  Memudarnya kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas.
c.                   Kemerosotan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat.
d.                  Memudarnya nilai-nilai kejujuran, kesopanan dan rasa tolong-menolong
e.                   Melemahnya nilai-nilai dalam keluarga.
f.                   Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam  penyeleng¬garaan pemerintahan.
g.                  Kerusakan sistim dan kehidupan ekonomi.Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebangsaan
Adapun kompetensi yang diharapkan dari mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan antara lain :
a.                   Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.
b.                  Agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya men¬cegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai.
c.                   Agar mahasiswa memiliki kepedulian dan mampu ber¬partisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama dan nilai universal.
d.                  Agar mahasiswa mampu berpikir kritis dan obyektif terhadap persoalan kenegaraan, HAM dan demokrasi.
e.                   Agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik.
f.                   mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban) (Sobirin Malian, 2003).
BAB II
ISI

2.1     PEMBANGUNAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN
            Tantangan terbesar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki wilayah negara sangat luas dan terdiri dari ribuan adalah dalam hal merumuskan sistem pertahanan yang komprehensi dan memadai untuk perlindungan kedaulatan, wilayah dan warga negara dari berbagai bentuk ancaman.
            Salah satu sistem yang terus dikembangkan dan menjadi bagian dari konsep pertahanan yang selama ini berlaku adalah sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) yang dalam UU Pertahanan Negara disebut sistem pertahanan semesta (sishanta). NKonsep ini mendapat kritik keras di masa pemerintahan Orde Baru yang dianggap menjadi dasar mobilisasi masyarakat untuk kepentingan kekuasaan Soeharto, menciptakan sekelompok ‘milisi’ sipil yang seolah-olah memiliki otoritas seperti aktor keamanan, dan cenderung berorientasi pada keamanan internal.
            Sejarah pembentukan sistem keamanan yang melibatkan elemen rakyat sebagai system cadangan kekuatan pertahanan di Indoensia ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan angkatan bersenjatA sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Elemen rakyat sebagai sistem pendukung mempunyai kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Seiring dengan perubahan ancaman dan sistem pemerintahan, maka pertanyaan tentang relevansi dari wacana sishankamrata kembali mengemuka.
            Wacana Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN) juga kembali muncul terkait rencana pemerintah untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU KCPN) yang telah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2008. Pro dan kontra pun mengiringya. Para petinggi TNI cenderung pro pemerintah, sementara parlemen dan masyarakat sipil cenderung kontra pemerintah.
            Kekhawatiran masyarakat sipil terutama terkait relevansi KCPN sebagai prioritas dan solusi mengatasi segala bentuk ancaman terhadap negara mengingat saat ini dan mungkin di masa depan bentuk ancaman bagi negara Indonesia cenderung berupa ancaman non militer. Potensi penyalahgunaan komponen cadangan tampaknya juga perlu dijawab. Sementara agenda penguatan komponen utama belum selesai, maka agenda pembentukan komponen cadangan menjadi sangat terburu-buru untuk diajukan.
            Upaya bangsa Indonesia menyelenggarakan system pertahanan dimulai sejak masa perang kemerdekaan, dengan tujuan untuk menghadapi agresi militer Belanda dan sejumlah pemberontakan paska proklamasi kemerdekaan. Sebagai negara ‘darurat’ yang baru merdeka, sistem penyelenggaraan negara yang berlaku termasuk sistem pertahanan—masih belum mencermikan satu sistem yang ideal.
            Sejarah pembentukan sistem keamanan yang melibatkan elemen rakyat sebagai system cadangan kekuatan pertahanan di Indoensia ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah pembentukan angkatan bersenjata sejak jaman kemerdekaan Indonesia. Elemen rakyat sebagai system pendukung mempunyai kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu.

2.1.1    Masa Awal Kemerdekaan (1945-1949)
            Pada masa ini mulai dibentuk angkatan perang yang diawali dengan pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) sebagai badan penolong korban perang yang dibentuk oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 22 Agustus 1945. Pada 3 Oktober 1945 BKR dibubarkan, kemudian dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan tonggak pembentukan organisasi yang dibawah Kementerian Keamanan Rakyat.
            TKR kemudian berubah nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, berada di bawah kementerian Pertahanan. Satu bulan kemudian, nama tersebut diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan menegaskan bahwa TRI bersifat kebangsaan (nasional) dan merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia. TRI kemudian diubah lagi oleh Presiden Soekarno menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besarnya.

2.1.2    Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
            Sebagai Negara yang menganut demokrasi liberal kala itu, Indonesia juga mengadopsi kebijakan dalam menerima anggota angkatan perang sukarela. Undang-Undang No 19 Tahun 1958 telah mengatur kedudukan warga Negara sebagai anggota militer sukarela, yaitu tentara reguler yang secara sukarela bergabung dalam angkatan bersenjata.
            Pasal 5 UU No 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara juga telah mengamanatkan agar rakyat terlatih untuk menjalankan perlawanan, oleh karena itu kemudian diberlakukanlah wajib latih bagi rakyat usia 18 hingga 40 tahun. untuk mempersiapkan perlawanan rakyat aktif dan cadangan umum yang teratur dan terlatih untuk Angkatan Darat berisi syarat, tata cara dan rekrutmen warga Negara dalam dinas kemiliteran. Pada tahun 1960 peraturan tersebut kemudian diganti dengan UU No. 40. Panya kenyataannya implementasi UU ini hampir tidak ada.

2.1.3    Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
            Dalam proses pembebasan Irian Barat, presiden Soekarno membentuk Organisasi Petahanan Sipil (Hansip) yang memiliki fungsi utama sebagai perlawanan rakyat (wanra) dan perlindungan masyarakat (linmas). Dalam rangka mobilisasi umum sebagai salah satu amanat dati Trikora, pemerintah membuat peraturan tentang keterlibatan aktif rakyat secara dalam pertahanan negara dalam untuk membantu kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata dan sebagai pertahanan keamanan Negara. Rakyat yang terlibat dalam sukarelawan aktif itu kemudian disebut sebagai sukarelawan pembebasan Irian Barat dan berada dalam kendali Komando Mandala, dan mempunyai kedudukan hukum yang diatur dalam Undang-Undang serta mempunyai hak jika gugur dalam tugasnya.
            Dalam masa demokrasi terpimpin ini kebijakan wajib militer juga masih dilanjutkan bahkan diperluas sampai menjangkau tingkat perguruan tinggi, dan dibentuk pula organisasi Resimen Mahasiswa (Menwa) yang harus menjalani wajib latih bela negara.

2.1.4    Masa Orde Baru (1967-1998)
            Dalam masa pemerintahan Soeharto, kebijakan wajib militer tetap dijalankan, keberadaan Menwa diperkuat, sedangkan Organisasi Hansip diubah menjadi Organisasi Perlawanan dan Keamanan Rakyat (Wankamra). Akan tetapi, kebijakan komponen cadangan masih belum jelas karena tidak terdapat penjelasan mengenai kedudukan dari para personilnya dalam hal ini para Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai cadangan nasional, yaitu apakah mereka sebagai bagian dari cadangan angkatan bersenjata atau menjadi komponen cadangan pendukung.
            Perubahan fundamental terhadap pertahanan Negara kemudian dilakukan pada 1982 dengan menyempurnakan sistem pertahananan nasional, yaitu menjadi Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Konsep ini menempatkan pasukan yang bersifat permanen di daerah-daerah melalui pembentukan komando daerah militer yang pembinaannya dilakukan oleh Angkatan Darat, yang terdiri atas Rakyat Terlatih sebagai komponen dasar; Angkatan Bersenjata beserta Cadangan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama; Perlindungan Masyarakat sebagai komponen khusus dan Sumber daya alam, sumber daya buatan dan prasarana nasional sebagai komponen pendukung.
            Perubahan fundamental terhadap pertahanan Negara kemudian dilakukan pada 1982 dengan menyempurnakan sistem pertahananan nasional, yaitu menjadi Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Konsep ini menempatkan pasukan yang bersifat permanen di daerah-daerah melalui pembentukan komando daerah militer yang pembinaannya dilakukan oleh Angkatan Darat, yang terdiri atas Rakyat Terlatih sebagai komponen dasar; Angkatan Bersenjata beserta Cadangan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama; Perlindungan Masyarakat sebagai komponen khusus; dan Sumber daya alam, sumber daya buatan dan prasarana nasional sebagai komponen pendukung.

2.1.5    Masa Reformasi (1998)
            Habibie yang menjabat pada masa ini masih melanjutkan beberapa terdahulu. Salah satunya adalah tentang komponen dasar yaitu Rakyat Terlatih (ratih) yang mempunyai beberapa fungsi diantaranya Fungsi Ketertiban Umum (Tibum), Fungsi Perlindungan Rakyat (Linra), Fungsi Keamanan Rakyat (Kamra), dan Fungsi Perlawanan Rakyat (Wanra). Fungsi Tibum, Linra dan Kamra merupakan fungsi Ratih dalam masa damai, sedangkan fungsi Wanra menjadikan Ratih sebagai kombatan dalam Hukum Humaniter Internasional.
            Sebagai sebuah negara yang menerapkan konsep total defense (dikenal dengan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta) untuk sistem pertahanan negara, Indonesia saat ini berupaya mewujudkan strategi mobilisasi seluruh elemen masyarakat untuk melindungi kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa dari seluruh ancaman.
            Secara konseptual pertahanan semesta adalah strategi pertahanan yang tidak hanya mengandalkan TNI sebagai komponen utama pertahanan, namun juga strategi mobilisasi seluruh elemen masyarakat dalam upaya mempertahankan negara, terutama sector sipil untuk menghadapi ancaman pertahanan.
            Pelibatan sektor sipil untuk menghadapi ancaman ini diupayakan melalui pembentukan Komponen Cadangan, yang rancangan undang-undangnya (Rancangan Undang-undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara - RUU KCPN) sedang disusun oleh panitia antar departemen–yang nantinya setelah disetujui oleh DPR, UU ini akan segera diterapkan.
            Sejumlah argumen mengiringi desakan perlunya dibentuk Komponen Cadangan dalam waktu dekat, antara lain argument bahwa pembentukan Komponen Cadangan adalah amanat UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan amanat UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang menyebutkan bahwa untuk menghadapi ancaman perlu komponen cadangan dan pendukung, selain penempatan TNI sebagai komponen utama.
            Argumen lain untuk mendukung argumen di atas yang disampaikan oleh kelompok pro Komponen Cadangan adalah bahwa Indonesia harus mengamankan luas wilayah dan sumber daya alam negerinya yang cukup besar. Komponen cadangan dianggap memiliki manfaat yang besar untuk membangun karakter bangsa dan rasa cinta tanah air. Isu keterlibatan warga negara Indonesia yang masuk dalam Askar Wataniah (milisi) Malaysia juga turut mempengaruhi desakan untuk mempercepat pembahasan RUU tersebut.
            Landasan yang mendasari RUU KCPN juga diangap bias, contohnya dalam penggunaan kata “berhak dan wajib” dapat memunculkan multi-interpretasi. Sementara TNI sejak awal tampak telah melakukan persiapan, bila sewaktu-waktu diminta untuk memberikan pelatihan bagi warga sipil untuk menjadi kombatan. Adapun pejabat Markas Besar TNI menyatakan sejalan dengan Departemen Pertahanan akan memberikan dukungan bagi percepatan penyusunan dan pembahasan RUU KCPN.
            Mengikuti Keppres No. 8 Tahun 2006 Tentang HBela Negara, pasukan cadangan ini disebut juga sebagai Pasukan Bela Negara, posisinya berada disamping TNI, pasukan cadangan ini dilatih lalu dimobilisasi bertempur pada saat perang. Dengan demikian Komponen Cadangan dibentuk dengan kualifikasi dapat digabungkan dan dapat menjalankan fungsi sebagaimana Komponen Utama. Berbeda dengan komponen pendukung yang berfungsi mengkondisikan masyarakat untuk berbuat sesuai kapasitasnya pada saat perang
            Aturan tentang keberadaan komponen cadangan juga dapat menghapus keberadaan milisi yang muncul dalam setiap konflik di daerah, namun hal ini tidak perlu dibesar-besarkan meski dibarengi dengan alasan adanya keinginan yang menggebu-gebu untuk melakukan bela negara. Pasalnya, fungsi Komponen Cadangan bukan dalam rangka menghadapi konflik internal yang ditengarai sama dengan mengadu domba masyarakat dan berpotensi mengambilalih tugas kepolisian yang berfungsi menangani masalah keamanan.
            Bagaimanapun ganjalan terbentuknya Komponen Cadangan masih besar, buktinya jawaban Departemen Pertahanan bahwa kebutuhan komponen cadangan untuk memperkuat komponen utama dengan membekalinya keterampilan hidup, Kemampuan manajerial dan teknologi untuk mengembangkan pertahanan guna menangkis kecurigaan munculnya kembali militerisme, belum dapat mengubah pendirian kelompok yang kontra. Sementara masyarakat luas juga tidak antusias menyambutnya lantaran bayang- bayang ketakutan di masa lalu.
            Pendirian kelompok kontra dapat dilihat dari sebagian pemerhati militer yang juga menyampaikan permintaan penundaan pembahasan RUU KCPN untuk menghindari kemungkinan proses pembahasan dilakukan terburu-buru, apalagi kekuatan politik saat ini tengah berkonsentrasi memenangi pemilu 2009. Isue penundaan tersebut didukung alasan bahwa isu pertahanan merupakan soal mempertahankan kedaulatan wilayah dan kedaulatan bangsa dan Negara dari serangan luar atau negara lain.

Hal lain sebagaimana cacatan kritis terhadap RUU KCPN yang disampaikan Imparsial
  1. Munculnya RUU KCPN dalam Prolegnas 2008 mencerminkan adanya ketidakteraturan dalam tata urutan dan skala prioritas pelaksanaan agenda reformasi sector keamanan (security sector reform). Pemerintah tidak memiliki design yang jelas dan tertata dalam SSR.
  2. RUU KCPN mengabaikan Prinsip HAM sebagai landasan dasar dalam Pembentukan sebuah Undang-undang. Secara prinsip, sebuah kebijakan dibuat tidak hanya melandaskan pada kepentingan negara, namun juga jauh di atas itu adalah menjaga dan menjamin kepentingan dan hak-hak dasar warga sebagai pemegang kadaulatan tertinggi dalam negara demokrasi.
  3. Perumusan tujuan pembentukan dan tugas komponen cadangan pertahanan Negara cenderung bersifat meluas dan tidak sesuai dengan yang digariskan dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
  4. Dalam situasi dimana HAM dan hukum humaniter telah diterima dan diadopsi oleh hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia, maka sudah seharusnya kedua norma hukum tersebut tidak boleh diabaikan dalam pembentukan komponen cadangan.
  5. RUU KCPN berpotensi untuk membuka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dalam upaya menguasasi berbagai sumber daya nasional di luar sumber daya manusia meng-atasnama-kan pembentukan komponen cadangan.
  6. Tidak adanya batasan maksimal dalam perekruitan komponen cadangan menjadikan upaya pembentukan komponen cadangan menjadi tidak realistis.
  7. Pembentukan Komponen Cadangan tersebut cenderung akan memperkuat kembali komando teritorial.
  8. Terkait dengan pembiayaan komponen cadangan, dimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai salah satu sumbernya, secara jelas menyalahi prinsip pemenuhan kebutuhan anggaran pertahanan negara yang harus dilakukan secara terpusat, yakni dialokasikan melalui APBN
  9. RUU Komponen Cadangan Pertahanan Negara tidak mencatumkan mekanisme komplain warga negara bila terjadi penggunaan komponen cadangan untuk tujuan yang tidak tepat, dan mekanisme pertanggungjawaban bila terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran terhadap komponen cadangan.

            Dengan demikian kalangan masyarakat sipil memandang jauh lebih penting agar pemerintah membereskan terlebih dahulu sejumlah masalah dalam agenda reformasi di sektor keamanan yang telah berjalan selama ini untuk melangkah lebih jauh. Penataan keamanan dinilai masih perlu dan dipertahankan pada kebijakan pertahanan, doktrin dan strategi TNI, serta struktur pertahanan untuk menghadapi kekuatan dan ancaman dari luar. Jadi perlu waktu yang tepat untuk melakukan pembahasan RUU KCPN, dan waktu yang tepat itu nampaknya bukan saat ini.
            Pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan telah menunjukkan kemajuan meskipun masih mengandung kelemahan. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) melemah, antara lain, karena digunakan sebagai alat kekuasaan pada masa lalu; rasa aman dan ketenteraman masyarakat berkurang; meningkatnya gangguan keamanan dan ketertiban; serta terjadinya kerusuhan massal dan berbagai pelanggaran hukum serta pelanggaran hak asasi manusia.
            Kurang mantapnya formulasi dan persepsi peran TNI pada masa lalu dalam menghadapi ancaman yang datang dari luar negeri menyebabkan terjadinya penonjolan peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia sebagai kekuatan sosial politik yang berimplikasi pada melemahnya peran TNI sebagai kekuatan pertahanan dan menurunnya tingkat profesionalitas TNI sehingga kemampuan nyata menjadi rendah; efek penangkalan sangat lemah dan timpangnya komposisi pengembangan kekuatan personil TNI serta alat utama sistem senjata (alutsista) TNI dikaitkan dengan konfigurasi geostrategis wilayah Indonesia. Keterlibatan TNI yang terlalu jauh dalam tugas-tugas keamanan dalam negeri serta keamanan dan ketertiban masyarakat berakibat pada terdistorsinya peran dan fungsi Polri sehingga berakibat kurang menguntungkan bagi profesionalitas Polri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kriminal serta berkurangnya jaminan rasa keamanan dan ketenteraman masyarakat.
            Sistem pertahanan dan keamanan Indonesia mengalami transformasi yang cukup substansial. TNI sebagai kekuatan inti dalam sistem pertahanan negara dan Polri sebagai kekuatan fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat mengalami perubahan paradigma secara mendasar. TNI dan Polri tidak lagi melaksanakan dwifungsi (fungsi pertahanan keamanan dan fungsi sosial politik) sehingga tidak lagi terlibat politik praktis. Untuk mencapai tujuan dari perubahan sistem pertahanan negara dan keamanan negara yang menganut dwifungsi menjadi sistem pertahanan dan keamanan negara yang profesional, dalam pelaksanaannya dijabarkan ke dalam dua bagian, yaitu pertahanan dan keamanan. Pemisahan masalah-masalah pertahanan dan keamanan dilakukan agar terpetakan secara jelas tugas, tanggung jawab, dan fungsi masing-masing institusi yang terlibat di dalamnya.
            Pembangunan pertahanan dan keamanan menghadapi permasalahan yang cukup berat terutama dalam hal pemulihan kredibilitas serta citra baik TNI dan Polri, baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagai institusi pertahanan negara, TNI harus mampu menjangkau seluruh luas wilayah kepulauan Indonesia dengan kondisi geostrategis yang berat. Padahal, kuantitas maupun kualitas personil maupun alat utama dan sistem senjata TNI sangat tidak memadai, sedangkan Polri sebagai penegak hukum yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, harus mampu menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan menjalankan peran dan fungsi institusi TNI dan Polri sesuai dengan tugas pokoknya serta sikap mental dan perilaku anggotanya sesuai dengan peran dan tugasnya, diharapkan TNI sebagai kekuatan inti pertahanan negara dan Polri sebagai pelaksana inti penegak hukum mampu berperanan utama dalam menjaga persatuan dan kesatuan.
2.2       ARAH KEBIJAKAN
Menurut Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004 arah kebijakan pembangunan pertahanan dan keamanan adalah:
  1. Menata kembali Tentara Nasional Indonesia sesuai paradigma baru secara konsisten melalui reposisi, redefinisi, dan reaktualisasi peran Tentara Nasional Indonesia sebagai alat negara untuk melindungi, memelihara, dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap ancaman dari luar dan dalam negeri dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memberikan darma baktinya dalam membantu menyelenggarakan pembangunan.
  2. Mengembangkan kemampuan sistem pertahanan keamanan rakyat semesta yang bertumpu pada kekuatan rakyat dengan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama didukung komponen lainnya dari kekuatan pertahanan dan keamanan negara dengan meningkatkan kesadaran bela negara melalui wajib latih dan membangun kondisi juang, serta mewujudkan kebersamaan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan rakyat.
  3. Meningkatkan kualitas keprofesionalan Tentara Nasional Indonesia, meningkatkan rasio kekuatan komponen utama, serta mengembangkan kekuatan pertahanan keamanan negara kewilayahan yang didukung dengan sarana, prasarana, dan anggaran yang memadai.
  4. Memperluas dan meningkatkan kualitas kerja sama bilateral bidang pertahanan dan keamanan dalam rangka memelihara stabilitas keamanan regional dan turut serta berpartisipasi dalam upaya pemeliharaan perdamaian dunia.
  5. Menuntaskan upaya memandirikan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka pemisahan dari Tentara Nasional Indonesia secara bertahap dan berlanjut dengan meningkatkan keprofesionalannya sebagai alat negara penegak hukum, pengayom dan pelindung masyarakat selaras dengan perluasan otonomi daerah.
2.3       PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN
2.3.1    Pertahanan
            Dalam pembangunan pertahanan tantangan yang cukup penting adalah mengubah sikap dan mental personil TNI untuk kembali pada posisinya yaitu mengemban peran dan fungsinya sebagai penjaga kedaulatan negara dan bangsa. Ke dalam tubuh TNI perlu dibangkitkan kembali kesadaran secara terus-menerus atas kemungkinan ancaman nyata terhadap kedaulatan negara terutama yang datang dari kekuatan asing. Tantangan lain adalah penanaman nilai-nilai kebanggaan dan kewibawaan pada TNI, baik bagi masyarakat sipil maupun bagi prajurit TNI. Hal ini kiranya bisa dicapai dengan terus menerus mengembangkan kekuatan TNI agar mampu melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik dan lebih dari itu diharapkan juga mampu dibangun suatu institusi TNI yang mempunyai efek penggentar (deterrence effect) terhadap musuh sehingga menimbulkan citra bahwa TNI berkemampuan tempur tinggi dengan daya pukul yang efektif. Hal ini menjadi salah satu faktor yang penting dalam mendukung keberhasilan upaya menjaga kedaulatan dan keamanan negara serta diplomasi dalam hubungan luar negeri.
            Pembangunan pertahanan ditempuh melalui Program Pengembangan Pertahanan Negara dan Program Pengembangan Dukungan Pertahanan.
2.3.2    Program Pengembangan Pertahanan Negara
            Tujuan program ini adalah membangun kekuatan pertahanan negara secara proporsional dan bertahap dalam rangka mewujudkan postur kekuatan pertahanan negara yang profesional, efektif, efisien serta modern dengan kualitas dan mobilitas yang tinggi sehingga mampu dalam waktu yang relatif singkat diproyeksikan ke seluruh penjuru tanah air, serta dapat dengan cepat dikembangkan kekuatan dan kemampuannya dalam keadaan darurat.
            Sasaran program ini adalah terwujudnya TNI yang profesional sebagai komponen utama fungsi pertahanan negara yang mampu menghadapi setiap ancaman terhadap kedaulatan dan integritas bangsa sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah :
  1. menyempurnakan perangkat perundang-undangan yang mengatur hubungan Presiden dengan TNI untuk memperjelas kewenangan Presiden dalam penggunaan dan pembinaan TNI.
  2. menata kembali peran dan fungsi institusi TNI secara konsisten melalui paradigma baru dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sesuai Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
  3. meningkatkan profesionalitas prajurit TNI antara lain melalui penyempurnaan kurikulum pendidikan dan menata kembali sikap mental dan perilaku prajurit sesuai dengan peran, tugas dan fungsinya sebagai komponen utama sistem pertahanan negara, diantaranya guna mengembalikan kepercayaan, rasa kebanggaan dan apresiasi rakyat kepada TNI.
  4. menata kembali serta melanjutkan validasi organisasi dan tata kerja di lingkungan Markas Besar (Mabes) TNI dan angkatan secara efisien agar lebih mampu melakukan penyesuaian dan menjamin keserasian peran, fungsi serta kerja sama antarangkatan dalam melaksanakan tugas-tugas pertahanan negara dengan menyeimbangkan dominasi antarangkatan secara struktural mulai dari tingkat Mabes TNI sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis. Di samping itu perlu diupayakan penataan ulang rencana umum tata ruang wilayah pertahanan beserta komponen kekuatannya selaras dengan peningkatan otonomi daerah.
  5.  melaksanakan pembangunan dan pengembangan kekuatan TNI secara gradual dalam rangka memenuhi kesiapan jumlah dan kualitas personil, materiil, dan alutsista, serta organisasi sesuai dengan kekuatan normatif, didukung perangkat pengatur yang sepadan dengan tanggung jawab yang harus diembannya sesuai dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
  6.  membangun kekuatan terpusat dan kewilayahan beserta penggelarannya dengan tingkat kesiapan pengamatan darat/laut/udara dan penginderaan dini sehingga mampu bertindak secara cepat terhadap setiap ancaman terutama dalam bentuk infiltrasi, pelanggaran wilayah, eksploitasi kekayaan alam lautan secara ilegal, sampai dengan ancaman kedaulatan negara. Disamping itu, diupayakan pula penataan kembali kesiapan operasional kekuatan komponen utama yang disesuaikan dengan kondisi wilayah agar satuan-satuan dapat dioperasionalkan secara cepat dan tepat pada daerah-daerah rawan terhadap ancaman (trouble spot area).
  7. mengembangkan kemampuan dukungan yang memadai dalam jumlah maupun kualitasnya termasuk kemampuan penelitian dan pengembangan untuk dapat mendukung setiap upaya penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan kekuatan dan kemampuan serta kesiapan dan kesiagaan operasional bagi unsur-unsur TNI secara efektif dan efisien, termasuk tersedianya kekuatan cadangan TNI dan penggelarannya yang dapat dikembangkan kekuatannya dalam menghadapi kontigensi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
  8.  meningkatkan kemampuan rekrutmen lembaga pendidikan dan pelatihan personel dalam rangka peningkatan kualitas personel secara keseluruhan guna mewujudkan sumber daya manusia TNI yang profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan lingkungan strategis.
2.3.3    Program Pengembangan Dukungan Pertahanan
            Tujuan program ini adalah menyelenggarakan manajemen modern yang profesional dan meningkatkan kemampuan pembinaan dan pendayagunaan wilayah negara, survei dan pemetaan nasional, sumber daya alam (SDA) dan sumber daya buatan (SDB), sarana dan prasarana nasional, iptek dan industri strategis, pengembangan sumber daya manusia (SDM), dan kerja sama internasional di bidang pertahanan.
            Sasaran program ini adalah terkelolanya sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan untuk mendukung penyelenggaraan pertahanan negara. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah
  1. melakukan pengembangan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam nasional untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang pada dasarnya adalah pemanfaatan seluruh sumber daya nasional dalam tatanan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta yang bercirikan kerakyatan, kewilayahan, dan kesemestaan; antara lain, melalui penumbuhan kesadaran bela negara. Di samping itu, diupayakan pula pengembangan potensi sumber daya buatan, pemanfaatan sarana, prasarana nasional, penataan organisasi untuk mendukung penyelenggaraan dan penyusunan komponen kekuatan pertahanan negara, serta pengembangan potensi industri nasional untuk mendukung penyelenggaraan pertahanan Negara.
  2. melakukan revisi UU No. 20 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia, beserta peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan pengelolaan pertahanan negara. Di samping itu, diupayakan pula untuk melakukan revisi doktrin pertahanan negara serta piranti lunak di lingkungan Departemen Pertahanan dan TNI yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan lingkungan, baik nasional maupun internasional.
  3. meningkatkan koordinasi selain antarorganisasi TNI, juga dengan instansi terkait lainnya guna penataan dan pengorganisasian komponen pendukung secara bertahap dan berlanjut agar dapat mendukung kebutuhan alutsista TNI.
  4. mengembangkan kerja sama pertahanan dan keamanan negara-negara ASEAN, Asia-Pasifik, dan kawasan internasional lainnya dalam rangka memelihara stabilitas keamanan regional dan ketertiban dunia melalui berbagai forum.
2.4       Keamanan
            Tingkat kesadaran masyarakat atas hak-haknya dan kebebasan arus informasi yang makin tinggi di dalam era transparansi dan proses demokratisasi, membuat segala bentuk ketidakadilan, kesenjangan, dan berbagai bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dapat segera diketahui secara apa adanya. Apabila hukum tidak dapat ditegakkan secara adil untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, dapat menimbulkan ketidakpuasan dikalangan masyarakat, yang pada gilirannya akan mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan anarkis sehingga dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat serta keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang serius untuk mengatasi persoalan-persoalan pelanggaran hukum yang terjadi, melalui berbagai metodologi, taktik, dan teknik yang berlandaskan hukum dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
            Pembangunan keamanan ditempuh melalui Program Pengembangan Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat serta Program Pengembangan Keamanan Dalam Negeri.
2.4.1    Program Pengembangan Pemeliharaan Keamanan Dan Ketertiban      Masyarakat
            Tujuan program ini adalah mewujudkan penyelenggaraan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga mampu melindungi seluruh warga masyarakat Indonesia dari gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Sasaran program ini adalah terwujudnya Polri yang profesional sebagai penanggungjawab dan pelaksana inti penegak hukum, fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat yang mampu mendukung segenap komitmen/kesepakatan nasional, serta mampu menyesuaikan diri terhadap tuntutan yang berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan strategis. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah:
  1. melakukan pengembangan tingkat kemampuan profesional dan kesiapan yang andal dalam penyidikan tindak pidana guna mengungkap perkara, kegiatan pencegahan terjadinya pelanggaran dan kejahatan, pengendalian massa, perlindungan masyarakat terhadap ancaman gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, penindakan huru-hara, lawan teror, penjinakan bahan peledak dan bantuan serta penyelamatan masyarakat.
  2. menegaskan profesionalitas anggota Polri antara lain melalui penyempurnaan kurikulum pendidikan dan menata sikap mental dan perilaku sesuai dengan peran, tugas dan fungsinya sebagai komponen utama sistem keamanan dan ketertiban masyarakat, serta melakukan pendekatan-pendekatan psikologis, sosial budaya masyarakat, dan tindakan nyata secara transparan kepada rakyat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
  3.  me-lakukan pengembangan kekuatan Polri secara bertahap dengan cara menambah jumlah personil guna pencapaian kebutuhan personil yang memadai, dibarengi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas materiil, serta fasilitas yang memadai dalam mendukung operasional Polri.
  4. mela-kukan penataan organisasi Polri beserta perangkat peraturan perundang-undangan dalam upaya memandirikan Polri yang profesional sebagai lembaga negara independen selaras dengan pelaksanaan otonomi daerah.
  5. membangun pengemban fungsi kepolisian lainnya melalui:
a.       meningkatkan pengembangan fungsi teknis Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Polisi Khusus, dan pengemban fungsi kepolisian lainnya di dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana sesuai undang-undang.
b.      meningkatkan koordinasi serta kerja sama dengan badan-badan di dalam dan di luar lembaga pemerintahan untuk kelancaran pelaksanaan tugas.
c.       meningkatkan pengendalian dan pengawasan bagi pelaksanaan tugas pembinaan dan operasional pengemban fungsi Polri.
d.      melaksanakan bantuan teknis/taktis fungsi kepolisian termasuk penerapan dalam pendidikan dan latihan.
e.        menyelenggarakan tindakan kepolisian terpadu di luar fungsi teknis yang ada dalam lingkup nasional/internasional
f.       menata manajemen, organisasi dan prosedur serta pengembangan kekuatan dan kemampuan pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam membantu tugas Polri.
  1. mengembangkan kemampuan dukungan yang memadai untuk menyelenggarakan operasi penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat dengan cepat, tepat, dan akurat, serta meningkatkan pembimbingan dan pembinaan terhadap masyarakat untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat melalui:
a.       mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.       memberikan bantuan dan pertimbangan kepada Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri serta dalam pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri melalui Lembaga Kepolisian Nasional.
c.        memberikan saran pertimbangan untuk menentukan kebijakan nasional di bidang narkotik dan penyelenggaraan komunikasi korespondensi pertukaran data dan informasi serta melaksanakan pelatihan, pendidikan tentang permasalahan narkotika antarlembaga pemerintah/nonpemerintah melalui Badan Koordinasi Narkotika Nasional.
d.       meningkatkan penyelenggaraan komunikasi korespondensi pertukaran data, informasi kriminal dan melaksanakan kerja sama di bidang penyelidikan, penyidikan kejahatan internasional dalam rangka mencegah, menangkal dan menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan internasional dengan kepolisian negara-negara lain dalam wadah Interpol.
e.        menyelenggarakan dan mendayagunakan Pusat Informasi Kriminal Nasional dengan mengembangkan sistem pengumpulan data kriminal serta korelasi data kriminal, sistem analisis kriminal dan sistem komunikasi informasi kriminal guna mendukung perumusan kebijakan penyelidikan dan informasi bagi pemerintah dan masyarakat.
f.        menyelenggarakan identifikasi nasional untuk memberikan dukungan teknis kepada administrasi penegakan hukum meliputi semua bentuk teknis pengenalan jati diri seseorang, khususnya, berdasarkan sidik jari melalui Pusat Identifikasi Nasional.
2.4.2    Program Pengembangan Keamanan Dalam Negeri
            Tujuan program ini adalah meningkatkan kemampuan pengamanan wilayah hukum nasional serta gangguan keamanan dalam negeri dengan mendayagunakan secara optimal dan terpadu segenap komponen kekuatan keamanan negara.
            Sasaran program ini adalah terwujudnya keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan dimana TNI dan Polri akan bekerja sama dan saling membantu sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing dalam hal gangguan keamanan telah mencapai intensitas yang membahayakan persatuan bangsa dan integritas wilayah.
            Kegiatan pokok yang dilakukan adalah:
1.      menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang mengatur peranan Polri dan komponen keamanan lainnya dalam menghadapi gangguan keamanan dalam negeri.
2.      mengembangkan kemampuan dukungan sarana dan prasarana yang memadai untuk dapat menyelenggarakan keamanan dalam negeri.
3.      mengatur keterlibatan TNI dalam mendukung Polri untuk menangani masalah keamanan dalam negeri.
BAB III
PENUTUP

3.1     KESIMPULAN
            Dalam upaya pertahanan keamanan, Tentara Nasional Indonesia menganut doktrin Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) yang merupakan upaya pengerahan seluruh kekuatan nasional untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara serta mengamankan segala usaha untuk mencapai tujuan nasional. Sebagai Komando Teritorial pada tingkat yang paling rendah yaitu di kecamatan, Komando Rayon Militer (Koramil) mempunyai peran yang sangat penting yaitu sebagai ujung tombak pelaksanaan Sishankamrata itu.
            Di dalam kerangka Sishankamrata itu (berdasarkan UU no 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dinamakan Siatem Pertahanan Semesta), Koramil mempunyai tugas pokok menyelenggarakan Pembinaan Teritorial dan Perlawanan Rakyat yang meliputi pembinaan geografis, demografis dan kondisi sosial dalam rangka menciptakan Ruang, Alat dan Kondisi Juang yang tangguh di daerahnya untuk kepentingan Pertahanan Keamanan Negara (Hankamneg).
            Salah satu sistem yang terus dikembangkan dan menjadi bagian dari konsep pertahanan yang selama ini berlaku adalah sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) yang dalam UU Pertahanan Negara disebut sistem pertahanan semesta (sishanta).
            Pernyataan Mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengatakan, sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata) masih relevan untuk memperkuat stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara.
            "Konsep keamanan saat ini memiliki arti yang lebih luas, tidak saja dalam konteks inter-state tetapi juga intra-state," katanya, usai menjadi pembicara dalam diskusi "Isu Keamanan Asia Tenggara", di Jakarta, Rabu.
            Sebagai negara yang dinilai memiliki posisi dan peran strategis di Asia Tenggara, Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mendukung stabilitas keamanan regional.
            "Kebijakan politik luar negeri Indonesia yang defensif, termasuk dengan sishankamrata yang selama ini dijalankan, masih relevan untuk mendukung terciptanya stabilitas kawasan," katanya. Hanya saja, tambah Alatas, perlu diperjelas peran dan fungsi TNI-Polri dalam keamanan dan pertahanan.
            "Kini tidak ada lagi konsep pemisahan peran dan fungsi TNI-Polri secara mutlak, mengingat dinamika keamanan dan pertahanan sangat dinamis, sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis regional dan internasional," ujar Alatas. Misalnya, dalam menghadapi ancaman terorisme. Dalam menghadapi terorisme, tidak bisa hanya dilakukan oleh TNI atau Polri saja, tetapi harus ada kerja sama diantara keduanya, ujarnya.
            Sementara itu Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan, situasi keamanan di kawasan Asia Tenggara kini makin dipengaruhi oleh situasi keamanan global terutama dari negara-negara Amerika Serikat (AS), Rusia, Jepang, India dan Cina.
            Anggaran pertahanan yang memadai yang dimiliki oleh kelima negara itu, menjadikan kelima negara itu, menjadi poros kekuatan dunia,
            Di Asia, terutama dipengaruhi oleh kekuatan Cina, Jepang dan India, yang makin lama makin tumbuh kuat dan dapat menjadi pertimbangan bagi kekuatan AS dan Rusia. Munculnya tiga kekuatan militer dari tiga negara Asia itu, berpengaruh pula terhadap masalah keamanan di Indonesia dan negara lain di Asia Tenggara. Sehingga diperlukan manajemen pertahanan keamanan yang solid, sesuai perkembangan lingkungan strategis di kawasan Indonesia.
            Sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) merupakan sistem yang bisa digunakan untuk mencegah jaringan terorisme meluas di masyarakat. Terutama para anak muda.
            "Pencegahan melawan teroris bukan masalah hukum saja, tetapi secara konprehensif adalah masalah pencegahan jangan sampai anak muda tertarik, tersesat dalam ideologi radikal, apalagi yang menggunakan agama," papar Menhan Juwono Sudarsono usai sidang paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta,
            Jadi Sishankamrata, mencakup masalah keadilan sosial supaya anak-anak muda yang tidak punya harapan bisa punya masa depan yang baik. "Karena itu perlu santunan sosial kepada kesempatan kerja dan pemberdayaan ekonomi kepada masyarakat yang rentan pada ideologi radikal.
            Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono,S.E. memberikan ceramah kepada peserta Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XVII Lemhannas RI dengan judul “Kebijakan dan Strategi Tentara Nasional Indonesia Dalam Mengemban Peran dan Fungsi TNI dalam rangka Ketahanan Nasional” di Gedung Trigatra Lemhannas RI  Jl. Merdeka Barat No. 10 Jakarta, Selasa (24/5).
            Panglima TNI dalam ceramahnya menyampaikan bahwa TNI dalam melaksanakan tugas pokok pada dasarnya berpedoman kepada Pasal 30 UUD 1945 tentang Sistem Pertahanan Negara yaitu Sishankamrata, yang didalamnya TNI sebagai komponen utama, dibantu komponen cadangan dan komponen pendukung.  Berangkat dari Pasal 30 UUD 1945 tersebut, diturunkan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, selanjutnya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dengan melaksanakan tugas pokoknya melalui Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
            Mencermati kecenderungan perkembangan lingkungan strategis di tingkat global, regional maupun nasional. Ancaman militer tersebut diantaranya kemungkinan akan terjadinya aksi sabotase yang dilakukan oleh militer asing dengan menggunakan unsur-unsur dalam negeri, terhadap obyek vital nasional yang bernilai strategis
            Selain itu, Panglima TNI mengingatkan adanya ancaman spionase yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara lain dengan menggunakan sarana satelit, pesawat intai, kapal selam dan kapal atas permukaan air. 
            Sedangkan ancaman nonmiliter diantaranya adalah kemungkinan terjadinya gerakan separatis bersenjata oleh Gerakan Separatis Papua (GSP) yang mengangkat isu pelanggaran HAM, pelurusan sejarah Pepera, hak-hak dasar orang asli Papua, genocide, kegagalan otonomi khusus dan penarikan pasukan TNI dari Papua.
            Selain itu juga kemungkinan akan terjadinya  aksi radikal menggunakan kedok agama, kemungkinan terjadinya aksi teroris dengan cara peledakan bom, penembakan, aksi perampokan bersenjata yang sasarannya para pejabat negara, aparat keamanan, obyek vital nasional yang bersifat strategis, fasilitas milik negara AS dan sekutunya yang ada di Indonesia
            Pemerintah dan militer Indonesia diharapkan untuk mengakomodasi sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) untuk meningkatkan ketahanan nasional. “Untuk menghadapi serangan militer, kita tidak boleh menitikberatkan kepada militer saja, tapi harus kita laksanakan pertahanan rakyat semesta,”
            “Untuk menghadapi serangan militer, kita tidak boleh menitikberatkan kepada militer saja, tapi harus kita laksanakan pertahanan rakyat semesta,” kata Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Sayidiman Suryohadiprojo dalam Praseminar Kesadaran Bela Negara, di Jakarta, Selasa [25/10]

            Sistem pertahanan rakyat semesta sudah dibuktikan oleh rakyat Vietnam, Rakyat militer yang kekuatan militernya rendah pada waktu itu dapat bertahan dari kekuatan militer Amerika Serikat yang canggih. “Akan tetapi, di Indonesia, ada orang-orang dan para tentara yang menganggap sistem pertahanan rakyat semesta itu ketinggalan jaman,” katanya.
            Selain itu, di lingkungan TNI saja masih kurang adanya pengertian tentang pertahanan rakyat semesta, kata mantan Duta Besar Indonesia untuk Jepang itu.
            Faktor non-militer tidak kalah pentingnya, harus ada kekuatan masyarakat yang memadai. masyarakat harus kuat karena pada akhirnya serangan non-militer itu menuju dan berdampak ke masyarakat.
            Dalam hal ini, kesejahteraan masyarakat sangat berpengaruh terhadap kekuatan masyarakat dan kemampuan militer. Rakyat merasa ada sesuatu yang patut dia bela kalau rakyat sejahtera. Salah satu sumber terorisme dan radikalisme itu karena ketidaksejahteraan di masyarakat. kata Sajidiman.
            Mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (purn) Tyasno Sudarto mengatakan, Sishankamrata merupakan sistem pertahanan yang tidak hanya ditumpukan kepada militer tetapi juga kepada totalitas kebangsaan kita termasuk rakyat. Akan tetapi Sishankamrata masih membutuhkan waktu panjang untuk dibuatkan landasan hukumnya. Namun Tyasno berharap sistem ini bisa segera diterapkan di Indonesia
            “Negara indonesia menganut negara kebangsaan. Oleh karena itu yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, hancur dan selamatnya negara ini adalah seluruh bangsa yang terdiri seluruh rakyat, kewilayahannya, sumber daya alam-nya dan juga sumber daya manusianya,” katanya.
            Dalam sistem pertahanan TNI berperan sebagai inti pertahanan. Namun hakekatnya yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga keamanan adalah seluruh bangsa Indonesia, ketahanan nasional bukan merupakan kemampuan untuk menjaga keamanan saja, tapi juga kemampuan untuk menciptakan kesejahteraan nasional.

3.2       SARAN
            Dalam menjaga pertahanan demi keamanan dan kesejahtraan rakyat Indonesia umumnya seluruh pihak berkewajiban membela dan menjaga keamanan demi terciptanya suatu Negara yang aman
            TNI dan POLRI sebagai benteng pertahanan keamanan Negara juga perlu bantuan dari seluruh komponen rakyat demi menjaga aksi-aksi kejahatan dan terror yang merusak perdamaian.

DAFTAR PUSTAKA