Bagi Yang Ingin Tukaran Link Bisa Disini Ya..... Jangan Lupa Tambahkan Situs Ini ke Link sobat
Bank Dan Lembaga Keuangan Islam
Lembaga keuangan adalah badan usaha yang mengumpulkan asset dalam bentuk dana dari masyarakat dan disalurkan untuk pendanaan proyek pembangunan serta kegiatan ekonomi dengan memperoleh hasil dalam bentuk bunga sebesar prosentase tertentu dari besarnya dana yang disalurkan. Sekalipun perbankan kovensional telah menjadi bagian utama dalam menjalankan roda ekonomi namun masih banyak kalangan ulama menyatakan bahwa bunga yang diperoleh dari aktivitas perbankan tidak sesuai dengan ajaran islam. Sejalan dengan itu terakhir muncul lembaga keuangan dalam konsep ekonomi islam yang dikenal dengan perbankan syari’ah, namun faktanya pemakai jasanya perbankan syari’ah juga banyak dari kalangan non-islam. Lembaga keuangan merupakan bagian utama dari sistem keuangan dalam ekonomi modern yang melayani masyarakat pemakai jasa-jasa keuangan. Lembaga keuangan utama adalah Bank. Dengan bantuan lembaga keuangan para pelaku usaha dapat melakukan transaksi keuangan dalam jumlah besar yang tidak mungkin dilakukan secara tunai.
Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: المصرفية الإسلامية al-Mashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.
Perbankan syariah memiliki tujuan yang sama seperti perbankan konvensional, yaitu agar lembaga perbankan dapat menghasilkan keuntungan dengan cara meminjamkan modal, menyimpan dana, membiayai kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai. Prinsip hukum Islam melarang unsur-unsur di bawah ini dalam transaksi-transaksi perbankan tersebut:[4]
1. Perniagaan atas barang-barang yang haram,
2. Bunga (ربا riba),
3. Perjudian dan spekulasi yang disengaja (ميسر maisir), serta
4. Ketidakjelasan dan manipulatif (غرر gharar).
Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional adalah sebagai berikut:
Bank Islam
1. Melakukan hanya investasi yang halal menurut hukum Islam
2. Memakai prinsip bagi hasil, jual-beli, dan sewa
3. Berorientasi keuntungan dan falah (kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai ajaran Islam)
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan
5. Penghimpunan dan penyaluran dana sesuai fatwa Dewan Pengawas Syariah
Bank Konvensional
1. Melakukan investasi baik yang halal atau haram menurut hukum Islam
2. Memakai perangkat suku bunga
3. Berorientasi keuntungan
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-debitur
5. Penghimpunan dan penyaluran dana tidak diatur oleh dewan sejenis
Afzalur Rahman dalam bukunya Islamic Doctrine on Banking and Insurance (1980) berpendapat bahwa prinsip perbankan syariah bertujuan membawa kemaslahatan bagi nasabah, karena menjanjikan keadilan yang sesuai dengan syariah dalam sistem ekonominya.
Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
Titipan atau simpanan
· Al-Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
· Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.
Bagi hasil
· Al-Musyarakah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
· Al-Mudharabah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
· Al-Muzara'ah, adalah bank memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang pertanian/perkebunan atas dasar bagi hasil dari hasil panen.
· Al-Musaqah, adalah bentuk lebih yang sederhana dari muzara'ah, di mana nasabah hanya bertanggung-jawab atas penyiramaan dan pemeliharaan, dan sebagai imbalannya nasabah berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
Jual beli
· Bai' Al-Murabahah, adalah penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh: harga rumah 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.
· Bai' As-Salam, Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Barang yang dibeli harus diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli berdasarkan keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Contoh: Pembiayaan bagi petani dalam jangka waktu yang pendek (2-6 bulan). Karena barang yang dibeli (misalnya padi, jagung, cabai) tidak dimaksudkan sebagai inventori, maka bank melakukan akad bai' as-salam kepada pembeli kedua (misalnya Bulog, pedagang pasar induk, grosir). Contoh lain misalnya pada produk garmen, yaitu antara penjual, bank, dan rekanan yang direkomendasikan penjual.
· Bai' Al-Istishna', merupakan bentuk As-Salam khusus di mana harga barang bisa dibayar saat kontrak, dibayar secara angsuran, atau dibayar di kemudian hari. Bank mengikat masing-masing kepada pembeli dan penjual secara terpisah, tidak seperti As-Salam di mana semua pihak diikat secara bersama sejak semula. Dengan demikian, bank sebagai pihak yang mengadakan barang bertanggung-jawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan pekerjaan dan jaminan yang timbul dari transaksi tersebut.
Pertumbuhan perbankan syariah di tingkat global tak diragukan lagi. Aset lembaga keuangan syariah di dunia diperkirakan mencapai 250 miliar dollar AS, tumbuh rata-rata lebih dari 15 persen per tahun. Di Indonesia, volume usaha perbankan syariah selama lima tahun terakhir rata-rata tumbuh 60 persen per tahun. Tahun 2005, perbankan syariah Indonesia membukukan laba Rp 238,6 miliar, meningkat 47 persen dari tahun sebelumnya. Meski begitu, Indonesia yang memiliki potensi pasar sangat luas untuk perbankan syariah, masih tertinggal jauh di belakang Malaysia.
Tahun lalu, perbankan syariah Malaysia mencetak profit lebih dari satu miliar ringgit (272 juta dollar AS). Akhir Maret 2006, aset perbankan syariah di negeri jiran ini hampir mencapai 12 persen dari total aset perbankan nasional. Sedangkan di Indonesia, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Bank Indonesia memprediksi, akselerasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia baru akan dimulai tahun ini.
Implementasi kebijakan office channeling, dukungan akseleratif pemerintah berupa pengelolaan rekening haji yang akan dipercayakan pada perbankan syariah, serta hadirnya investor-investor baru akan mendorong pertumbuhan bisnis syariah. Konsultan perbankan syariah, Adiwarman Azwar Karim, berpendapat, perkembangan perbankan syariah antara lain akan ditandai penerbitan obligasi berbasis syariah atau sukuk yang dipersiapkan pemerintah.
Sejumlah bank asing di Indonesia, seperti Citibank dan HSBC, bahkan bersiap menyambut penerbitan sukuk dengan membuka unit usaha syariah. Sementara itu sejumlah investor dari negara Teluk juga tengah bersiap membeli bank-bank di Indonesia untuk dikonversi menjadi bank syariah. Kriteria bank yang dipilih umumnya beraset relatif kecil, antara Rp 500 miliar dan Rp 2 triliun. Setelah dikonversi, bank-bank tersebut diupayakan melakukan sindikasi pembiayaan proyek besar, melibatkan lembaga keuangan global.
Adanya perbankan syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)dengan tujuan mengakomodir berbagai aspirasi dan pendapat di masyarakat terutama masyarakat Islam yang banyak berpendapat bahwa bunga bank itu haram karena termasuk riba dan juga untuk mengambil prinsip kehati-hatian. Apabila dilihat dari segi ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan besar karena penduduk Indonesia 80% beragama islam, tentunya ini bisnis yang sangat potensial. Meskipun sebagian orang islam berpendapat bahwa bunga bank itu bukan riba tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank berjumlah kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja bagi umat islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.
Tetapi sistem perbankan syariah di Indonesia masih belum sempurna atau masih ada kekurangannya yaitu masih berinduk pada Bank Indonesia, idealnya pemerintah Indonesia mendirikan lembaga keuangan khusus syariah yang setingkat Bank Indonesia yaitu Bank Indonesia Syariah.
Kemajuan Dan Tantangan Lembaga Keuangan Islam
Dengan beredarnya berita bahwa pemerintah Inggris akan menjual 82 persen sahamnya dalam Royal Bank of Scotland kepada pemerintah Abu Dhabi, sekali lagi ditunjukkan pengaruh sistem keuangan Islam yang semakin besar di dunia. Pengaruh ini juga merupakan ancaman sistemik terhadap sistem keuangan yang dominan di dunia saat ini.
Dari awal yang merendahkan diri pada 1990-an, sistem keuangan Islam telah berkembang menjadi industri triliunan dolar. Pasar sepakat bahwa sistem keuangan Islam mempunyai masa depan yang cerah, berkat demografi yang menguntungkan dan meningkatnya pendapatan di kalangan masyarakat muslim.
Kendati ada skeptisisme mengenai akomodasi antara sistem keuangan Islam dan sistem keuangan global, semakin banyak bank terkemuka membeli surat utang Islam dan membentuk anak perusahan yang khusus melakukan transaksi menurut sistem keuangan Islam. Undang-undang khusus telah dikeluarkan di pusat-pusat keuangan non-muslim--London, Singapura, dan Hong Kong--untuk melancarkan operasi bank-bank Islam dan lembaga-lembaga keuangan yang terkait dengannya.
Bagaimana kita harus memandang perkembangan ini dari perspektif sistem keuangan Barat dan menurut analisis ekonomi arus utama? Apakah sistem keuangan Islam benar-benar merupakan suatu sistem keuangan alternatif yang bisa diandalkan?
Bahwa pertanyaan semacam itu diajukan sekarang ini mempunyai arti yang penting. Belum begitu lama yang lalu, sistem keuangan Islam diremehkan sebagai sistem keuangan “suku bunga nol” yang bakal berujung pada pengerahan dan penggunaan dana yang tidak memadai dan tidak efisien. Ironisnya, banyak bank arus utama sekarang justru secara rutin menerapkan kebijakan semacam itu ketika memburu quantitative easing yang masif.
Ada dua prinsip sentral dalam sistem keuangan Islam: mengharamkan bunga atas transaksi keuangan, dan menerapkan standar moral yang tinggi yang harus dipatuhi baik oleh kreditor maupun debitor. Menariknya, rationale sistem suku bunga nol ini tercantum dalam Teori Umum John Maynard Keynes: “Ketentuan yang melarang riba merupakan salah satu praktek ekonomi paling tua yang pernah kita catat… Karena itu, di suatu dunia di mana tidak seorang pun dianggap aman, hampir tidak terelakkan bahwa suku bunga, kecuali dikendalikan dengan segala instrumen yang ada dalam masyarakat, bakal meningkat terlalu tinggi sehingga tidak mungkin bakal ada rangsangan yang memadai bagi masyarakat untuk berinvestasi.”
John Maynard Keynes mengatakan bahwa hanya suku bunga nol atau yang sangat rendah yang bisa menjamin penyediaan lapangan kerja sepenuhnya dan distribusi yang adil. Pernyataan Keynes yang mendukung kebijakan seperti itu tidak berarti ia benar, namun analisisnya patut dianggap sebagai pernyataan yang serius.
Patut diingat bahwa, walaupun bunga diharamkan menurut sistem keuangan Islam, tidak demikian halnya dengan laba. Laba diperoleh dari berbagai pengaturan yang memadukan pendanaan dan kewirausahaan. Esensinya, ia merupakan sistem bagi laba dan bagi risiko berdasarkan sepenuhnya pada equity finance.
Sistem keuangan Islam, karena itu, bertolak belakang dengan sistem yang dominan saat ini yang didasarkan pada utang yang berbunga, di mana risiko secara teoretis dibebankan kepada debitor, tapi dalam prakteknya disosialkan, atau disesuaikan, dengan kepentingan masyarakat di saat krisis. Dalam keadaan serupa, sebagian besar ekonom sepakat bahwa debt finance berujung pada ketidakstabilan yang lebih parah daripada equity finance.
Dari prinsip utama kedua sistem keuangan Islam ternyata bahwa, jika orang dengan teguh mematuhi persyaratan etikanya, bakal tidak timbul banyak persoalan moral hazard dalam perbankan Islam. Moral hazard ada di semua sistem di mana negara pada akhirnya menyerap risiko yang dibawa warga pribadi.
Tapi, apakah sesuatu sistem itu efisien dalam menghindari moral hazard merupakan persoalan praktek, bukan teori. Banyak pihak sepakat bahwa, secara historis, moralitas Kristen memainkan peran penting dalam pertumbuhan kapitalisme Barat. Bagaimanapun, kapitalisme sekuler telah mengalami erosi nilai, di mana sektor keuangan telah menempatkan kepentingannya sendiri di atas kepentingan masyarakat. Jika nilai etika dalam sistem keuangan Islam--yang didasarkan pada hukum syariah--bisa selanjutnya mencegah terjadinya moral hazard dan penyalahgunaan tugas oleh lembaga-lembaga keuangan, sistem keuangan Islam terbukti bisa menjadi alternatif yang serius terhadap model derivative finance yang ada saat ini.
Lagi pula prinsip dasar sistem keuangan Islam memaksa kita untuk meninjau kembali basis etika sistem moneter modern, yang telah berkembang menjadi sistem global mata uang cadangan global berdasarkan fiat money. Di masa lalu, emas merupakan jangkar stabilitas moneter dan disiplin keuangan, walaupun emas itu sifatnya deflasioner.
Batu ujian bagi setiap sistem keuangan alternatif akhirnya bergantung pada apakah ia--atau ia bisa--lebih efisien, lebih etis, lebih stabil, dan lebih mampu beradaptasi daripada sistem yang ada sekarang. Untuk sementara ini, belum ada mata uang cadangan dan lender of the last resort Islam. Tapi dunia Islam merupakan pemilik sumber daya alam yang besar yang mendukung kegiatan perdagangan dan keuangannya.
Sementara pengaruh dunia Islam semakin besar, sistem keuangan Islam bakal menjadi pesaing yang tangguh terhadap sistem keuangan yang ada saat ini. Dunia bakal banyak diuntungkan bila kedua sistem keuangan ini dibiarkan bersaing dengan jujur dan konstruktif guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan berbagai sistem keuangan.
Daptar Isi Dan Referensi
Rammal, H. G., Zurbruegg, R. (2007). Awareness of Islamic Banking Products Among Muslims: The Case of Australia. dalam Journal of Financial Services Marketing, 12(1), 65-74.
Saeed, Abdullah. (1996). Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden, Netherlands: E.J.Brill.
Subhi Y. Labib (1969), Capitalism in Medieval Islam dalam The Journal of Economic History, 29 (1), hlm. 79-96 [81, 83, 85, 90, 93, 96].
Syafi'i Antonio, Muhammad (2001). Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, penyunting Dadi M.H. Basri, Farida R. Dewi, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press. ISBN 979-561-688-9.
http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2008/wp0816.pdf Islamic Banks and Financial Stability: An Empirical Analysis, hlm. 5
Khursid Ahmad, Islamic Finance and Banking: The Challenge of the 21st Century, dalam Imtiyazuddin Ahmad (ed.) Islamic Banking and Finance: The Concept, The Practice and The Challenge (Plainfield: The Islamic Society of North America, 1999).
"Sharia calling ", The Economist, 12 November 2009.
Slater, Joanna, "World's Assets Hit Record Value Of $140 Trillion ", The Wall Street Journal, 10 Januari 2007.
http://www.iran-daily.com/1388/12/11/MainPaper/3630/Page/5/Index.htm
Afzalur Rahman, Islamic Doctrine on Banking and Insurance (London: Muslim Trust Company, 1980).
Andrew Sheng: Penasihat Kepala pada Komisi Regulator Perbankan Cina, Wakil Ketua Hong Kong Monetary Authority; Ajit Singh: guru besar ekonomi pada Cambridge University.
http://www2.tempo.co/read/kolom/2012/04/27/572/Tantangan-Sistem-Keuangan-Islam-
Subscribe to:
Posts (Atom)